FOKUSMALANG - Dulu, sang ibu (alm) Soepijah membuka warung Puthu Lanang pada tahun 1935 di pinggir jalan setapak. Yakni di Jl Jaksa Agung Suprapto Gang Buntu, Celaket, Kota Malang. Warung yang pernah jadi jujukan tentara Jepang ini dikelola penuh oleh anak keduanya, Siswojo, 49. Kini, seribu porsi puthu lanang ludes setiap hari.
Sebelum mengelola bisnis jajanan tradisional puthu lanang ini, Siswojo, bapak dua orang anak ini berprofesi sebagai developer property. Namun, panggilan hati dan rasa ingin melestarikan kuliner jadul (zaman dulu) ini yang membuat Siswojo memutuskan untuk terjun penuh dalam mengelola bisnis warisan orang tuanya ini.
”Ternyata, saya merasa lebih tenang dengan mengelola bisnis ini dan tidak pernah membayangkan bisa setenang ini,” ujar Siswojo yang sudah 20 tahun mengelola warung ini.
Sis mengakui sejak didapuk untuk meneruskan bisnis keluarga ini bukan malah senang dengan amanat yang diberikan ibundanya. Justru menurutnya beban. Sebab, tantangan yang dihadapi cukup besar. Yakni, mempertahankan nama besar dari usaha kuliner yang dirintis oleh ibunya, yaitu dengan menjaga mutu dan rasanya.
Apalagi ada anggapan jika usaha kuliner diteruskan oleh generasi kedua, maka rasanya tidak akan seenak generasi pertama. Nah, Siswojo ingin menepis anggapan itu.
”Kalau generasi berikutnya mengelola dan justru mundur, itu namanya kurang ajar. Alhamdulillah sejak saya kelola kenaikan pelanggannya mencapai seratus persen,” tegasnya.
Sis berkisah, dulu ketika ibunya mendirikan usaha ini pada tahun 1935, jalan di depan lokasi hanya berupa jalan setapak saja. Selain itu, beberapa pengunjungnya juga masih tentara Belanda. Setelah Jepang menang atas Belanda, kuliner ini juga digemari oleh tentara Jepang.
”Memang waktu itu kata ibu saya, ketika berjualan masih banyak tentara yang lewat di depan warung,” terangnya.
Jajanan pasar ini, dulu disebut Puthu Celaket saja. Sebab, lokasinya ada di sekitar Jl Jaksa Agung Suprapto atau yang lebih dikenal dengan nama Celaket. Namun, karena ada beberapa orang yang ’nunut populer’ dengan menggunakan nama Puthu Celaket dan mengatasnamakan sebagai cabang.
Sejak awal berdiri, kuliner legendaris ini sudah mampu memikat lidah ribuan bahkan jutaan pelanggannya. Dalam sehari saja, sekitar 1.000 porsi puthu, lupis, kelepon, dan cenil mampu terjual. Jika dilihat dari jalan besar, lokasi kuliner legendaris ini tidak begitu kentara. Sebab, letaknya agak masuk ke dalam mulut gang.
Kendati tidak begitu terlihat dari luar gang, tapi nama kuliner ini sangat terkenal. Bahkan, jika bertanya kepada para tukang becak saja, dengan mudah para abang becak yang ada di sekitar lokasi akan menunjukkan venue-nya.
Hampir setiap sore hingga malam hari, kuliner yang sudah ada sejak sebelum zaman kemerdekaan ini selalu dipadati pembeli. Bahkan tidak sedikit yang rela antre untuk mendapatkan seporsi cenil, lupis, kelepon,
dan tentu saja puthu ini. Harga untuk seporsi jajanan khas pasar ini cukup terjangkau, yakni Rp 10 ribu per 10 bijinya.
Akhirnya pada tahun 2000 lalu, Siswojo mengganti nama kuliner ini dengan Puthu Lanang. Alasannya cukup lucu. Sebab, ada jajan pasar dengan nama puthu ayu, sehingga Siswojo membuat ’tandingannya’ dengan memakai nama Puthu Lanang.
Selain itu, pada saat nama itu dikukuhkan, seluruh cucu dari pendiri, (alm) Soepijah adalah laki-laki. Jadi, nama Puthu Lanang bisa diartikan sebagai putu lanang alias cucu lelaki.
”Kalau kami membuat nama puthu ganteng untuk menandingi puthu ayu, itu namanya narsis dong,” kata laki-laki yang akrab disapa Sis ini sembari tergelak.
Kini Sis berupaya menjaga agar nama Puthu Lanang tidak lagi dipakai orang untuk mendompleng ketenaran, pada tahun yang sama yakni 2000, nama ini sudah dipatenkan ke lembaga terkait. Sehingga tidak akan lagi ’ditiru’ orang dengan mengatasnamakan sebagai cabang dari Puthu Celaket.
”Untuk mematenkan nama dagang ini, saya dibantu oleh salah satu pelanggan. Namun sayang, saya lupa namanya,” terangnya